Wednesday
Maharku Nafsu
bahwa aku ingin mencintaimu dengan nafsuku
haruskah ku tulis keterusteranganku ini dengan syair atau puisi
agar lebih menyentuh hatimu, karena katanya puisi akan lebih menyentuh imajimu yang terlanjur dewasa itu
aku tak sanggup berbicara akhlak, kesucian, dan bahkan kegaiban untuk mencintaimu dengan tulus
karena maharku cuma nafsu
cintaku adalah nafsuku
nafsuku menghilang cintaku pun ikut menghilang
cintaku adalah anak-anak
anak-anak mencintai keindahan dan fantasi nafsu
Friday
I'm not yours
cjhvnnjvcgx ksn nbvhc ncb
bch jehvcxjcvug cb bch bhvc bc
bhncbvch n
hahahahahahahahahahahahahahaha
by hcbcg vccg chbvhch v cgbch
b hcnhhchvcbxnjcyxnjakbhckseh
vcbhxucxjgxxj hvjchxxiyt chj
bnvcih
BECAUSE I'M NOT YOURS
Sunday
CINTA
Yang terkuat dan terlemah
Semoga dipenuhi oleh suka cita yang abadi
Dan melihat waktu dalam keluarbiasaan
Menggabungkan masa lalu dan masa sekarang
Dengan indra keselarasan
Biarkan cinta mengalir dengan peniadaan diri
Cinta yang abadi dalam ruh yang tak terbatas
Menuju kepastian cinta yang bertabir diantara kekasih dan kekasih
Menuju cahaya hak kekal
Melewati semua hidup dengan cerita derita
Aku harus menjadi saya
Saya menjadi kamu dalam ruang kita
Thursday
Saturday
KETIKA KUBACA WAJAHMU
Imajinasimu masih berdiri tegak dilarut malam
Sehelai kata demi kata kau jatuhkan begitu indah, begitu menjiwa
Jauh dari kota yang semakin bisu, semakin busuk
Ketika Kubaca wajahmu diantara cahaya lilin-lilin dan tebing-tebing derita
Dalam kata kau berteriak memecah malam panjang, gelap dan pengap
Dengan segala pengetahuanku yang hanya seteguk
Kukenali tapak-tapak jejakmu menuju subuh, menuju cahaya.
Dan aku semakin tenggelam, semakin kehabisan waktu
Setiap kali aku baca wajahmu
Kurasakan keperihan pengetahuanku yang dangkal
Akhirnya kupasrahkan diriku bertekuk lutut dihadapanmu.
Makassar, 11 Juni 2010
Friday
BANRIMANURUNG (sedikit prosa dari sejarah kerajaan bangkala)
“Kamu tinggal dimana, dimana orang tuamu?” lelaki rentah itu bertanya dengan suara agak gemetaran. Angin yang sedikit kencang sehabis hujan itu membuat tubuhnya yang ringkih menggigil dan menggetarkan suaranya. Gadis kecil itu hanya diam dan terus saja menggigil. Bibirnya yang mulai memucat sepertinya tak mampu untuk mengatakan sesuatu yang dia butuhkan pada saat itu.
“Baiklah, rumahku tidak jauh dari sini” lelaki rentah itu menarik tangan gadis kecil itu. Sesampai di rumah lelaki rentah, gadis kecil itu di selimuti dengan kain yang beberapa bagiannya sudah robek. Diberi makan dengan lauk seadanya.
“Orang tuamu mana nak?” lelaki itu kembali bertanya perihalnya sambil memperhatikan anak itu makan dengan lahapnya, sepertinya dia sudah tidak makan selama dua hari.
Namun gadis kecil itu diam dan hanya menggelengkan kepala. Lelaki rentah itu mulai kebingungan, kemudian kembali bertanya “namamu siapa dan dari mana?”. Kembali gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tak tampak pula kesedihan di raut wajahnya. Itulah kebingungan si Lelaki rentah. Seandainya gadis kecil itu menunjukkan raut sedih, lelaki rentah itu tahu jika dia ditinggalkan atau meninggalkan rumahnya. Tapi gadis kecil itu, tak sedikitpun menampakkan raut kesedihannya. Dia terus saja melahap makanan yang disediakan si lelaki tua, bahkan sesekali dia menyodorkan piring petanda meminta tambah.
“Baiklah, untuk sementara kau tinggal di sini saja. Nanti kalau orang tuamu datang, kau harus ikut dengannya” si lelaki rentah berdiri dari hadapan gadis kecil itu kemudian melangkah ketumpukan pakaian bekas yang sudah tidak terpakai. Di pilihnya satu pasang pakaian yang dianggapnya pas untuk ukuran badan gadis itu.
“Pakailah ini, daster ini milik anak perempuan saya yang hilang 10 tahun lalu” lelaki rentah itu mulai menceritakan perihal diri dan keluarganya. Dia tinggal sendiri. Sepuluh tahun lalu, istri dan seorang anak perempuannya masih menemaninya.
Tapi suatu kejadian, ketika mereka pergi kehutan mencari kayu bakar. Anak dan istrinya kehilangan jejak dan sampai sekarang dia tidak menemukan mereka. Sehingga dia pun pasrah, meskipun dia masih berharap bahwa mereka tidak meninggal. “mungkin mereka tidak tahu jalan pulang saja” begitu penutup ceritanya. Ketika dia menoleh ke gadis kecil itu, sepertinya ceritanya sia-sia saja diceritakan panjang lebar. Gadis kecil itu tertidur pulas. Si lelaki rentah memperbaiki letak kepalanya, itu mengingatkannya pada anak perempuannya 10 tahun lalu.
Hari demi hari, bulan bahkan setahun pun berlalu. Orang tua gadis kecil itu, seperti harapan si lelaki rentah, tidak pernah datang mencarinya. Setiap ada orang yang mencari kayu bakar di sekitar tempat gadis itu dia temukan, ditanyanya perihal gadis itu, namun tak seorang pun yang mengaku kehilangan anak. Sebaliknya, gadis kecil itu menikmati hari-harinya bersama si lelaki rentah. Tampak riang gembira tanpa sedikitpun resah dan tanya perihal orang tuanya. Setiap pagi dia menemaninya si lelaki rentah mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai atau mempersiapkan makan malam bersama.
“Nak, kemari sebentar” suatu hari si lelaki rentah memanggil gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun datang dengan berlari-lari kecil kearahnya. Di usapnya kepala gadis kecil itu kemudian berkata “kau belum punya nama karena kau tidak mau mengatakan siapa namamu, sekarang kupanggil kau Banrimanurung artinya manusia yang turun dari langit” anak itu hanya tersenyum tanda kebahagiaannya memiliki nama yang agung. Lelaki rentah pun ikut tersenyum merasa kebahagiaannya 10 tahun lalu, kini hadir kembali setelah gadis kecil itu mengisi hari-harinya dengan canda dan keluguannya.
10 tahun kemudian, gadis kecil itu tumbuh menjadi gadis remaja. Berparas cantik dan ayu. Lelaki rentah kembali mengingat anak perempuannya “seandainya dia masih ada, mungkin dia sudah sebesar ini dan cantik seperti anak itu”ucapnya dalam lamunannya di suatu pagi. Masih ada kehendaknya untuk mencari anak perempuan dan istrinya kehutan, tapi apa boleh buat, lelaki rentah itu sudah tidak kuat berjalan jauh. Bahkan untuk mengambil kayu bakar dan air di sungai, Banrimanurunglah yang mengurus semua itu.
Suatu pagi, ketika Banrimanurung berangkat mencari kayu bakar di hutan, dia bertemu dengan seorang lelaki muda yang sedang berburu di hutan tersebut. Ketika hendak melesatkan anak panahnya ke seekor kelinci putih, tiba-tiba lelaki muda itu melihat paras cantik seorang gadis remaja dibalik rimbun bambu. Diurungkanya niat memanah dan sejurus kemudian melangkah mendekati gadis itu.
“Hai..., kamu tinggal dimana?” lelaki muda itu bertanya diselimuti kegugupannya melihat kecantikan paras gadis dihadapannya. Banrimanurung menunduk dan hanya mengarahkan telunjuknya dimana lelaki rentah itu tinggal.
“Boleh aku berkunjung kerumahmu?” pinta lelaki muda itu. Banrimanurung hanya mengangguk tanda setuju dengan permintaan lelaki muda itu. Dalam perjalanan mereka kerumah si lelaki rentah, mereka berbincang bincang banyak hal. Lelaki muda itu memperkenalkan namanya, Karaeng Parurang. Selain nama yang di perkenalkannya Karaeng Parurang juga menyatakan ketertarikannya kepada Banrimanurung dan berencana bertemu dengan Lelaki rentah untuk dilamarnya. Cinta bersemi pada saat itu juga. Banrimanurung kebanyakan tersenyum malu mendengar keinginan sang karaeng.
Sesampai di rumah lelaki rentah, tidak terlalu sulit bagi Karaeng Parurang untuk melamar Banrimanurung karena wilayah tempat lelaki rentah itu tinggal adalah wilayah kekuasaan ayahnya. Saat itu pun Banrimanurung resmi menjadi istrinya dan hidup bersama di hutan itu sambil menghabiskan masa berburunya.
Beberapa minggu kemudian, Karaeng Parurang berencana membawa mereka ke kerajaan ayahnya. Sesampai di kerajaan, ayahnya yang bernama Tanatoa, duduk dikelilingi oleh beberapa selirnya. Seperti biasanya, sehabis pulang dari berburu, Karaeng Parurang menghadap diri ke ayahnya sekaligus memperkenalkan istrinya kepada ayahnya. Ayahnya tiba-tiba terkesimah melihat kecantikan istri putranya. Dia berdiri dan menarik lengan putranya menuju pendopo kerajaan.
“Kau bertemu dimana perempuan secantik itu?” tanya Tanatoa sedikit berbisik kepada putranya.
“Di hutan bambu dekat desa Jannang Panaikang ayah” dengan bangga Karaeng Parurang menceritakan kisah pertemuannya.
Banrimanurung pun resmi tinggal di kerajaan Tanatoa, namun kecantikan Banrimanurung membuat Tanatoa gelisah hampir setiap malam. Bayang-bayang Banrimanurung selalu saja hadir dihadapannya setiap saat. Sempat-sempat dia mencuri waktu untuk mendatangi menantunya itu untuk berbincang lebih lama. Hingga pada suatu hari, Tanatoa menemui putranya untuk menikahi Banrimanurung, menantunya sendiri.
“Putraku, saya ingin jujur kepadamu” ucap Tanatoa di ruang peristirahatannya kepada putranya.
“ada apa ayah?” balas Karaeng Parurang tanpa curiga sedikitpun.
“aku tertarik pada istrimu dan hendak menikahinya” Tanatoa berdiri dari pembaringannya. Mendengar keinginan ayahnya, Karaeng Parurang terkejut.
“ayah, dia milikku, istriku, dan siapa pun yang berani menyentuhnya maka nyawalah taruhannya” tegas Karaeng Parurang kepada ayahnya.
“putraku, jika kau juka bersikeras mempertahankannya maka nyawaku juga menjadi taruhannya” bau emosi keduanya mulai kepermukaan.
“baiklah ayah, jika itu keinginanmu maka aku terima tantanganmu” tantang sang anak. Tak lama mereka saling bersitegang, Karaeng Parurang keluar dari tempat peristirahatan ayahnya. Bahkan mengajak istri dan lelaki rentah kembali ke hutan bambu. Disana Karaeng Parurang mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan ayahnya yang suatu saat akan datang secara tiba-tiba.
Tanpa dibekali seorang prajurit pun, Karaeng Parurang mewanti-wanti kedatangan pasukan ayahnya. Gelisah menyelimutinya hingga tidur pun tak sempat dia nikmati. Ketakutan jika pasukan ayahnya datang dan menculik istrinya sementara dia didalam keadaan tertidur atau tidak ada disamping istrinya.
Melihat kecemasan suaminya, Banrimanurung menenangkannya “tidak perlu takut, jika perlu saya ikut berperang menghadapi mereka. Jikalau pun kita mati bersama, itu akan lebih baik dari pada salah satu diantara kita harus mati”. Karaeng Parurang terkesimah dengan ungkapan kesetiaan istrinya. Dikecupnya kening istrinya dan mengantarnya kedalam malam yang penuh bahagia.
Pada saatnya tiba, ketika ratusan prajurit ayahnya muncul dari rimbunan pohon bambu, tampak tak ada kecemasan sedikitpun dari wajah Karaeng Parurang disamping istrinya. Istrinya membisik sambil menarik lengan Karaeng Parurang “ikuti aku”. Mereka berlari diantara rimbunan pohon bambu menuju tempat dimana Banrimanurung ditemukan oleh si lelaki rentah. Ayahnya dan ratusan prajuritnya mengejar dan berhenti ketika Banrimanurung berhenti. “di sini” Banrimanurung terengah-engah membisik suaminya
“hahahah..., aku tidak pernah membesarkan seorang putra sepengecut kau” kecus Tanatoa dengan nafasnya yang turun naik.
“aku siap ayah” tantang Karaeng Parurang kepada ayahnya. Mendengar tantangan anaknya, dengan geram ayahnya memerintahkan kepada seluruh prajuritnya untuk membunuh putranya sendiri dan membawa Banrimanurung. Namun belum lagi perintah itu terdengar baik di telinga para prajuritnya, ribuan pohon bambu tiba-tiba tercabut dari akarnya dan menyerang para prajurit itu. Tanatoa pun tak luput dari serangan bambu-bambu itu hingga tewas. Kejadian itu membuat Karaeng Parurang hanya bisa menganga dan tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya hingga nampak di hadapannya ratusan mayat prajurit tak bernyawa lagi, begitu pula dengan ayahnya.
“ada apa dengan bambu-bambu itu?” tanya Karaeng Parurang kepada istrinya sementara dia masih dalam keadaan tidak percaya melihat kejadian yang luar biasa itu. Prediksinya bahwa takdir hidupnya akan berakhir di tempat itu. Namun kejadian luar biasa itu membuatnya masih bisa menghirup udara disamping istrinya.
“aku yang memerintahkannya” Banrimanurung menatap bahagia suaminya. “aku memiliki kekuatan gaib untuk memerintahkan bambu-bambu itu” lanjutnya sementara suaminya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Kemudian, mereka meninggalkan tempat itu dan membiarkan mayat Tanatoa membusuk bersama para prajuritnya. Mereka pun melanjutkan kehidupan keluarga yang sempat dihantui kerakusan sang ayah. Mereka kembali kekerajaan dan membangun dinasti kerajaan baru bernama Kerajaan Bangkala. Setelah bertahun-tahun mereka menikah, mereka di karuniai dua orang anak bernama I Batara langit dan Liampiyabang. Namun tidak lama mereka menikmati hari-hari bersama keluarga yang penuh kebahagiaan itu, Banrimanurung hilang tanpa jejak sedikitpun. Menghilangnya sangat misterius karena hampir seluruh penjuru, bahkan kehutan bambu pun tidak ditemukan. Dengan kesedihan teramat dalam, Karaeng Parurang menyadari kehadiran Banrimanurung didalam kehidupan ini terutama didalam kehidupannya adalah hadiah dari Dewa Sang Penguasa Alam.
Jeneponto, 12 Juni 2010
Sejarah Bangkala
Bangkala adalah salah satu wilayah bagian barat di Kab.Jeneponto propomsi Sulawesi Selatan yang juga memiliki sejarah kerajaan yang penting untuk kita ketahui. Wilayah ini memiliki dua sungai besar yaitu di Topa dan di Allu yang mengalir dari utara timur daya ke selatan barat daya. Para penduduk setempat yang kebanyakan bercocok tanam mengambil air di singai ini untuk mengaliri sawah-sawah mereka. Berdirinya Kerajaan Bangkala di mulai dengan perkawinan antara perempuan yang digelari tumanurung dan anak penguasa dari Tanatoa bernama Karaeng Parurang. Seperti ini kisahnya:
Tumanurung adalah seorang gadis kecil yang temukan di antara rimbun bambu oleh seorang petani miskin. Petani itu kemudian membesarkannya hingga menjadi seorang gadis remaja yang berparas cantik dan diberi nama Banrimanurung. Suatu hari, ketika anak penguasa dari Tanatoa itu berburu anjing dan beristirahat di sebuah desa bernama Jannang Panaikang. Tiba-tiba dia melihat seorang gadis remaja dengan rambut yang teruarai panjang diantara rimbunnya bambu. Sang pangeran tertarik dengan kecantikan gadis itu kemudian melamarnya untuk dinikahi. Ketika kembali ke rumahnya, sang ayah, Tanatoa terkejut dengan apa yang di bawa anaknya itu. Sang ayah pun ikut jatuh cinta pada si gadis yang di bawa putranya dan ingin menikahinya juga. Tentu karaeng Parurang tidak menerima hal itu sehingga mau tidak mau harus melawan ayahnya sendiri. Perang anak-bapak pun terjadi di desa Kalimporo. Bersama istrinya tercinta, Banrimanurung, yang memiliki kekuatan magic yaitu mengarahkan semua bambu-bambu untuk melawan bala tentara Tanatoa. Sang Ayahpun kalah dan tewas bersama para prajuritnya. Mereka dibiarkan membusuk di arena pertempuran itu. Banrimanurung dan Karaeng Parurang kemudian membangun kerajaan baru yang disebut kerajaan Bangkala. Beberapa tahun setelah kawin, mereka dikaruniai seorang putra yang diberi nama I Batara Langi dan seorang putri bernama Liampayabang. Setelah anaknya lahir, Banrimanurung tiba-tiba menghilang. Kehilangannya sangat mesterius bahkan suaminya pun tidak tahu dia kemana.
Dari generasi ini, I Batara Langi menikah dengan anak gadis dari Kojaya sementara Liampiyabang menikah dengan Karaeng Tamamapa. I Batara Langi memliki 2 orang putra yaitu Massaquling, Sawempalagi dan seorang putri yaitu Golla Tau. Putri I Batara Langi ini menikah dengan putra dari Liampiyabang yaitu Palembanawa. Hasil perkawinan mereka lahirlah seorang putra bernama Latena Bangkala yang nantinya menikah dengan anak perempuan dari Karaeng Loe ri Marusuk yang bersuku bugis. Latena bangkala mempunyai seorang putra bernama Puang Kope (Karaeng Lakbua Talibannanna). Karaeng lakbua Talibannanna menika dengan putri Raja Gowa Tunipalangnga. Dari perkawinan mereka melahirkan 2 orang putra bernama Karaengta ri Bungaya dan Karaeng ri Lure. Karaengta ri Bungaya belum terdeteksi menikah dengan siapa, tapi nantinya akan mempunyai putra bernama Karaeng ri Balang yang akan menikah dengan janda dari karaeng tarowang dan melahirkan seorang putra bernama Karaeng ri Layu yang menjadi generasi terakhir.
Saturday
Jatuhkan Airmu Lagi
Kususun bait-bait pusi
Kubacakan pada barisan pepohonan
Kuceritakan tentang suasana pagi didesaku
Setitik air lama kami nanti
Hingga kami tak mengenal lagi arti jernih dan keruh
Setitik air mata lama kami tahan
Hingga kami tak mengenal lagi arti sedih dan gembira
Diantara tetes air yang jatuh kemarin
Ku lemparkan senyum pada awanmu
Pada mata-mata yang lelah
Kulemparkan seperti ada rindu
Sepertinya aku lama menantimu
Setelah kerinduan ini terobati
Kau meninggalkan bunga mawar
Lalu berlalu, menghilang....
Membawa hujan
Membawa air mata
Kapan kau datang lagi?
Jatuhkan airmu lagi
Seperti ini....
(Makassar, 5 Juni 2010)
Friday
Jala Ikan....
Banyak orang lebih senang dengan memancing karena lebih praktis, tidak merepotkan, dan nilai sosialnya lebih tinggi dibandingkan dengan menjala ikan. Orang yang sedang memancing bisa bincang-bincang apa saja sambil menunggu umpannya di berhasil menangkap ikan. Tapi, untuk persoalan hasil, jala pasti lebih banyak menangkap ikan, dan biasanya menjala ikan untuk kebutuhan, bukan kegemaran.
Di desa saya, hanya ada beberapa orang yang punya keahlian dalam menggunakan jala ikan ini...termasuk Dg.Nai (foto). Menurutnya, perlu kekuatan tangan dan keseimbangan badan karena jala itu cukup berat. Sekarang kebanyakan orang tinggal menebar jaring di laut untuk mendapatkan hasil lebih banyak lagi. Namun, sebanyak apapun ikan yang mereka dapatkan dalam sehari, kehidupan mereka tidak begitu menguntungkan karena kebijakan pemerintah dan industri tidak memberikan keleluasaan pada mereka dalam mencari hasil tangkapan. Hari ini, mungkin mereka dapat hasil yang memuaskan, tapi besok atau lusa belum tentu demikian. Langkah mereka dibatasi oleh privatisasi industri. Pengusiran kerap mereka dapatkan, hingga dituntut kepengadilan jika melewati batas privat. Misalnya saja di kawasan-kawasan wilayah pariwisata. Sehingga mereka harus melaut lebih jauh lagi dari pemukimannya yang tentunya akan mengkhawatirkan keselamatannya. Masalahnya, apakah semua nelayan punya nyali untuk melaut di laut lepas. Nyali tentu perlu dukungan pemerintah, misalnya dukungan finansial untuk membeli kapal yang lebih besar dan tahan badai serta asuransi keselamatan kerja. Tapi jangankan dukungan, lirikan pemerintah saja masih kurang. Mereka hanya dapat kunjungan jika pada saat kampanye PILKADA atau PEMILU, setelah itu mereka dimasukkan dalam agenda rapat. Nama kamunitas mereka di agendakan untuk memuaskan nama komunitas lain....siapa komunitas lain itu???? PARTAI.....
Wallahu a’lam bissawab.....
(Jeneponto, 2 Juni 10)
Saturday
Cara Belajar Siswa 'Betul-Betul' Aktif
pembelajaran benar-benar menarik, menyenangkan, dan bermanfaat bagi siswa.
Tapi masalahnya metode baru terkadang bertentangan dengan aturan kedisiplinan sekolah atau kurikulum yang baku. Misalnya saja, Pendekatan Out-door learning yang menggunakan setting alam terbuka sebagai sarana kelas, untuk memberikan dukungan proses pembelajaran secara menyeluruh yang dapat menambah aspek kegembiraan dan kesenangan. Metode ini dianggap tidak memenuhi standar kedisplinan, bahkan mengajak siswa menjadi liar. Akhirnya metode ini di alihkan dalam bentuk kegiatan ekstra kokulikuler.
Salah seorang guru pernah mengeluh bahwa sekolahnya lebih berprestasi di bidang ekstra kokulikuler dibandingkan pelajaran sekolahnya. "liat piala-pila di rak itu, semuanya atas nama ekstra kokuliikuler". katanya
Jika saja metode belajar di ubah menjadi bentuk out door, mungkin saja prestasi siswa-siswa itu akan lebih baik dari pada kegiatan-kegiatan ekstra kokulikuler itu dibandingkan metode sekarang yang menuntut para siswa untuk diam didalam ruangan dan mengarahkan pandangan mereka pada satu titik yaitu 'papan tulis'.
Atau jika sekolah-sekolah kita berani merubah semua bentuk pembelajaran, mulai dari peran guru sampai pada kurikulumnya, kita bisa menggunakan metode "moving class'. Metode ini dianggap mampu membantu siswa menjadi lebih aktif dan agresif dalam belajar.
Perbedaannya dengan metode belajar konvensional dimana guru yang bergerak menemui siswa-siswi di kelas kemudian mengurung mereka sampai jam pelajarannya selesai, metode moving class menempatkan siswa-siswi sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan sehingga siswa-siswi lah yang bergerak mencari guru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut. Pada metode konvensional, saat kegiatan belajar mengajar, gaya dan cara seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran berbeda satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan, kebiasaan yang kurang baik yang dilakukan, atau materi yang diberikan oleh guru akan mempengaruhi daya tangkap siswa dalam menyerap materi yang ada. Kurikulum yang terlalu padat dengan materi yang kurang relevan dengan tujuan pembelajaran, hanya akan membuat bingung siswa, sehingga siswa menjadi kurang termotivasi untuk belajar.
Suasana lengan pada jam pelajaran pada metode konvensional berubah menjadi ramai di metode moving class, terutama di koridor-koridor kelas. Siswa bebas menentukan mata pelarannya pada hari itu sehingga mereka tahu apa yang mereka butuhkan atau dalami. Guru-guru pun akan merasa mudah dan terhargai.
Sistem ini juga akan mengurangi kegiatan guru yang kurang bermanfaat, misalnya 'gosip ria', 'acara makan-makan', 'acara fashion' dll. Guru-guru diarahkan duduk dikelas menunggu siswa-siswi yang membutuhkan mata pelajarannya.
Dan tentunya, untuk menarik minat siswa-siswa, maka kelas-kelas tersebut harus dilengkapi alat dan bahan yang lengkap. Misalnya bahasa inggris. Kelas bahasa inggris harus di lengkapi dengan perlengkapan listening, kamus bahasa inggris, bahan-bahan bacaan ringan berbahasa inggris, dll. Penyediaan alat-dan bahan ini tentu tidak seberapa harganya dibandingkan memperbanyak ruangan untuk menampung siswa-siswi didalammnya. Maksudnya, kita tidak butuh terlalu banyak ruangan karena ruangan akan disesuaikan dengan jumlah mata pelajaran. Yang kita butuhkan adalah alat dan bahan yang lengkap sehingga siswa-siswa bisa lebih menguasai pelajaran yang diberikan guru. (Jeneponto, 26 Maret 2010)
Friday
Untuk Ibu.....
Suatu saat diatas tikar.
Kau terbangun oleh rasa sakit di perutmu.
Kau meraba perutmu, seperti ada yang akan jatuh dalam dirimu.
Kau menjeritkan sebuah kata mirip maut.
Disampingmu seorang pria cemas.
Kau cengkram tangannya kuat. Dia menatap matamu yang membesar.
Menatapmu dengan mata hitamnya lembut, begitu lembut.
Kau menelan matanya ke dalam dirimu. Menenangkanmu.
Dan kau rasakan ada yang keluar jatuh dari rahimmu. Sakitmu memupus.
Lalu hening hilang oleh pecah tangis bayi.
Kau melepas nafas diantara senyum merekah.
Kau memejamkan mata diantara mata terbuka binar.
Kau menggigit bibir diantara dera kebahagiaan.
Hampir sekarat yang tak pernah dimengerti lelaki.
Belum berakhir....
Bayi itu berhenti menangis saat dekatmu.
Kau dekatkan dadamu di kepalanya.
Kau kecup wewangian tubuhnya.
Wangi manis, wangi begitu baru, wangi berasal dari tubuhmu.
Kau senandungkan lagu. Mengantarnya ke malam.
Matanya perlahan mengatup.
Gerak bibirnya perlahan mengendurkan hisap puting susumu.
Kau berbisik: Kelak ketika engkau sudah besar, akan kuserahkan pada dunia. Ketika engkau kenal bahasa, ucapkan keindahan. Dunia diluar sini adalah hutan. Banyak jalan, jebakan maut. Ketika kau sendirian, terjebak dalam hutan, tanpa remah-remah roti petunjuk jalan. Lewati semua sengkarut dengan sabar.
Nasib Dokar
Sekarang kendaraan ini sudah jarang ditemukan. Kalaupun ada, hanya pada pukul 7 - 11 pagi ketika pasar lagi ramai, itupun jumlahnya tidak banyak, 4 atau 6 dokar lalu lalang. Setelah itu, ojek motor mengambil alih perannya sebagai alat transportasi antar desa. Dari tahun ke tahun, sejak masyarakat Jeneponto sudah mengenal ojek, jumlah dokar pun semakin berkurang. Apalagi ojek lebih praktis dan cepat dibandingkan memakai tenaga kuda. Banyak kusir yang dulunya berprofesi penarik dokar, sekarang beralih sebagai tukang ojek. Maklum penghasilan tukang ojek lebih baik dibandingkan penarik dokar. Belum lagi perawatannya. Tukang ojek tidak terlalu ribet dalam merawat motornya, bahkan jika tidak tahu sama sekali tentang perawatan motor, mereka tinggal membawanya ke bengkel. Beda dengan penarik dokar, sepulang narik, sang kusir harus merawat kudanya. Mencari rumput, memandikan,, mengontrol kesehatan, belum lagi perawatan dokar itu sendiri yang banyak memakan biaya.
Melihat kenyataan ini, tidak menutup kemungkinan dokar akan menjadi kenang-kenangan belaka di kemudian hari dan hanya untuk kita dongengkan kepada anak cucu kita. Sangat sulit untuk melestarikannya karena erat hubungannya dengan ekonomi. Sekarang, tinggal beberapa orang yang masih bertahan sebagai kusir dokar. Entah berapa lama mereka akan bertahan untuk melestarikan alat transportasi yang notabene sebagai perintis awal dari alat transportasi di dunia moderen sekarang ini. (Arsip)
Thursday
Pak Tani dan Bu'Tani
Pak Tani : Alhamdulillah, bajiki assele'na inne
taunga ammana
Bu'Tani : Mudah-mudahan kamma inji inne
taung labattua mae
Pak Tani : Punna lammoroji pupuka, pasti
lakamma inji inne kutae, ka
kulangngeriki la naimi seng pupuka
Bu'Tani : kukana pammarentah najanjiki lana
palammoroki pupuka wattunna
akkampanye?
Pak Tani : Nuassemmi antu pammarentata,
punna nia erokna, porei a'janji, tapi
punna nagappamo anjo nakerokia,
nakuluppaimi janjinna
Bu'Tani : Lani apa pale, punna kamma injo pammarentata, ia mami anne assele sike'deka
lampasikolai i baso nakkulle anjari apmmarenta todo
Pak Tani : (tertawa) Latikkamma carana i baso lassikola tinggi punna biaya lanjari pammarenta
ka'jala. Punna berasa ji lani pattoang, tena nangganna.
Petani-petani kecil ini terkurung di dunianya tanpa daya. Mereka menjalani rutinitas tanpa kemungkinan untuk meraih kesejahteraan. Hidup mereka dikuasai para pedangang. Para pedagang lah yang mendapat keuntungan atas jerih payah mereka. Saya amati, begitu jauhnya selisih harga antara di petani dan di pasar.
Tak adanya kemampuan menawar pada petani dan berkuasanya para tengkulak mestinya jadi perhatian pemerintah. Pemerintah pada level apapun mestinya memikirkan solusi terbaik untuk kasus ini. Tapi sepertinya pemerintah terlalu sibuk dengan masalah kekuasaan.
Menangnya para pedagang atas petani bisa dilihat pula dari banyaknya petani yang menjual tanahnya untuk modal dagang. Tak sedikit pula yang menjual tanahnya untuk modal jadi TKI. Sekarang kalaupun masih marak dunia pertanian, saya menduga ini cuma visualisasi semata. Yang berlangsung sesungguhnya adalah perdagangan, bukan saja perdagangan hasil tani dan tanah pertanian tapi perdagangan harkat dan martabat petani. Petani sedang menyongsong era baru perbudakan di negri ini.
(Jeneponto, 26 Mei 2010)
A'baung Benteng
Alhamdulillah, hidup gotongroyong makin tumbuh kembali dalam masyarakat Indonesia. Mungkin ada orang berpendapat, khususnya kalangan yang terbelinger atau terobsesi dengan kehebatan dunia Barat, bahwa keinginan demikian adalah kemustahilan dan hanya merupakan nostalgia orang tua yang hidup dalam pikiran dan perasaan masa lampau yang sudah jauh terlewati.
Sebagian orang juga mengatakan bahwa hidup gotongroyong tidak akan membantu untuk mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan kesejahteraan makin tinggi. Telah dibuktikan bangsa lain seperti Jepang, bahwa tanpa individualisme dan liberalisme dapat dicapai kemajuan itu.
Budaya gotongroyong juga biasa dicerminkan dalam berbagai hal, khususnya pada komunitas pedesaan, seperti menanam padi, mendirikan mesjid, dan membangun saluran air sawah. Tapi semakin berkembangnya zaman, sistem pun sedikit berubah menjadi sistem upah sehingga nilai kegotongroyongan mulai pudar. Kekhawatiran kita, jika sistem ini terus berlanjut menjadi sikap individualis ala barat. Maka tentu kita tidak akan menemukan lagi pemandangan seperti diatas. a'baung benteng.
Jeneponto, 25 Mei 2010