catatan-catatan singkat ini hanyalah hiburan belaka....hanya untuk mengisi kekosongan....hanya untuk membuktikan bahwa kita masih normal untuk memaknai kehidupan

Friday

BANRIMANURUNG (sedikit prosa dari sejarah kerajaan bangkala)

Sore sehabis hujan, dan angin sedikit kencang membawa sisa-sisa gerimis menerpa wajah seorang lelaki rentah. Jalannya sebentar-bentar miring kekanan dan kekiri. Untunglah pohon-pohon bambu yang tumbuh liar menyeimbangkan tubuhnya. Dipegangnya bambu-bambu itu sambil melangkah menyusuri tanah yang sedikit tergenang air sehabis hujan. Tiba-tiba dia berhenti setelah telinganya menangkap suara perempuan menggigil. Sepertinya sangat dekat, tapi tidak nampak di pandangannya sumber suara itu. Ketika ia mendekati semak-semak, tampak seorang gadis kecil telanjang dengan rambut panjang yang terurai basah ke pundaknya.


“Kamu tinggal dimana, dimana orang tuamu?” lelaki rentah itu bertanya dengan suara agak gemetaran. Angin yang sedikit kencang sehabis hujan itu membuat tubuhnya yang ringkih menggigil dan menggetarkan suaranya. Gadis kecil itu hanya diam dan terus saja menggigil. Bibirnya yang mulai memucat sepertinya tak mampu untuk mengatakan sesuatu yang dia butuhkan pada saat itu.

“Baiklah, rumahku tidak jauh dari sini” lelaki rentah itu menarik tangan gadis kecil itu. Sesampai di rumah lelaki rentah, gadis kecil itu di selimuti dengan kain yang beberapa bagiannya sudah robek. Diberi makan dengan lauk seadanya.

“Orang tuamu mana nak?” lelaki itu kembali bertanya perihalnya sambil memperhatikan anak itu makan dengan lahapnya, sepertinya dia sudah tidak makan selama dua hari.

Namun gadis kecil itu diam dan hanya menggelengkan kepala. Lelaki rentah itu mulai kebingungan, kemudian kembali bertanya “namamu siapa dan dari mana?”. Kembali gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tak tampak pula kesedihan di raut wajahnya. Itulah kebingungan si Lelaki rentah. Seandainya gadis kecil itu menunjukkan raut sedih, lelaki rentah itu tahu jika dia ditinggalkan atau meninggalkan rumahnya. Tapi gadis kecil itu, tak sedikitpun menampakkan raut kesedihannya. Dia terus saja melahap makanan yang disediakan si lelaki tua, bahkan sesekali dia menyodorkan piring petanda meminta tambah.

“Baiklah, untuk sementara kau tinggal di sini saja. Nanti kalau orang tuamu datang, kau harus ikut dengannya” si lelaki rentah berdiri dari hadapan gadis kecil itu kemudian melangkah ketumpukan pakaian bekas yang sudah tidak terpakai. Di pilihnya satu pasang pakaian yang dianggapnya pas untuk ukuran badan gadis itu.

“Pakailah ini, daster ini milik anak perempuan saya yang hilang 10 tahun lalu” lelaki rentah itu mulai menceritakan perihal diri dan keluarganya. Dia tinggal sendiri. Sepuluh tahun lalu, istri dan seorang anak perempuannya masih menemaninya.

Tapi suatu kejadian, ketika mereka pergi kehutan mencari kayu bakar. Anak dan istrinya kehilangan jejak dan sampai sekarang dia tidak menemukan mereka. Sehingga dia pun pasrah, meskipun dia masih berharap bahwa mereka tidak meninggal. “mungkin mereka tidak tahu jalan pulang saja” begitu penutup ceritanya. Ketika dia menoleh ke gadis kecil itu, sepertinya ceritanya sia-sia saja diceritakan panjang lebar. Gadis kecil itu tertidur pulas. Si lelaki rentah memperbaiki letak kepalanya, itu mengingatkannya pada anak perempuannya 10 tahun lalu.

Hari demi hari, bulan bahkan setahun pun berlalu. Orang tua gadis kecil itu, seperti harapan si lelaki rentah, tidak pernah datang mencarinya. Setiap ada orang yang mencari kayu bakar di sekitar tempat gadis itu dia temukan, ditanyanya perihal gadis itu, namun tak seorang pun yang mengaku kehilangan anak. Sebaliknya, gadis kecil itu menikmati hari-harinya bersama si lelaki rentah. Tampak riang gembira tanpa sedikitpun resah dan tanya perihal orang tuanya. Setiap pagi dia menemaninya si lelaki rentah mencari kayu bakar, mengambil air dari sungai atau mempersiapkan makan malam bersama.

“Nak, kemari sebentar” suatu hari si lelaki rentah memanggil gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun datang dengan berlari-lari kecil kearahnya. Di usapnya kepala gadis kecil itu kemudian berkata “kau belum punya nama karena kau tidak mau mengatakan siapa namamu, sekarang kupanggil kau Banrimanurung artinya manusia yang turun dari langit” anak itu hanya tersenyum tanda kebahagiaannya memiliki nama yang agung. Lelaki rentah pun ikut tersenyum merasa kebahagiaannya 10 tahun lalu, kini hadir kembali setelah gadis kecil itu mengisi hari-harinya dengan canda dan keluguannya.
10 tahun kemudian, gadis kecil itu tumbuh menjadi gadis remaja. Berparas cantik dan ayu. Lelaki rentah kembali mengingat anak perempuannya “seandainya dia masih ada, mungkin dia sudah sebesar ini dan cantik seperti anak itu”ucapnya dalam lamunannya di suatu pagi. Masih ada kehendaknya untuk mencari anak perempuan dan istrinya kehutan, tapi apa boleh buat, lelaki rentah itu sudah tidak kuat berjalan jauh. Bahkan untuk mengambil kayu bakar dan air di sungai, Banrimanurunglah yang mengurus semua itu.

Suatu pagi, ketika Banrimanurung berangkat mencari kayu bakar di hutan, dia bertemu dengan seorang lelaki muda yang sedang berburu di hutan tersebut. Ketika hendak melesatkan anak panahnya ke seekor kelinci putih, tiba-tiba lelaki muda itu melihat paras cantik seorang gadis remaja dibalik rimbun bambu. Diurungkanya niat memanah dan sejurus kemudian melangkah mendekati gadis itu.

“Hai..., kamu tinggal dimana?” lelaki muda itu bertanya diselimuti kegugupannya melihat kecantikan paras gadis dihadapannya. Banrimanurung menunduk dan hanya mengarahkan telunjuknya dimana lelaki rentah itu tinggal.

“Boleh aku berkunjung kerumahmu?” pinta lelaki muda itu. Banrimanurung hanya mengangguk tanda setuju dengan permintaan lelaki muda itu. Dalam perjalanan mereka kerumah si lelaki rentah, mereka berbincang bincang banyak hal. Lelaki muda itu memperkenalkan namanya, Karaeng Parurang. Selain nama yang di perkenalkannya Karaeng Parurang juga menyatakan ketertarikannya kepada Banrimanurung dan berencana bertemu dengan Lelaki rentah untuk dilamarnya. Cinta bersemi pada saat itu juga. Banrimanurung kebanyakan tersenyum malu mendengar keinginan sang karaeng.

Sesampai di rumah lelaki rentah, tidak terlalu sulit bagi Karaeng Parurang untuk melamar Banrimanurung karena wilayah tempat lelaki rentah itu tinggal adalah wilayah kekuasaan ayahnya. Saat itu pun Banrimanurung resmi menjadi istrinya dan hidup bersama di hutan itu sambil menghabiskan masa berburunya.

Beberapa minggu kemudian, Karaeng Parurang berencana membawa mereka ke kerajaan ayahnya. Sesampai di kerajaan, ayahnya yang bernama Tanatoa, duduk dikelilingi oleh beberapa selirnya. Seperti biasanya, sehabis pulang dari berburu, Karaeng Parurang menghadap diri ke ayahnya sekaligus memperkenalkan istrinya kepada ayahnya. Ayahnya tiba-tiba terkesimah melihat kecantikan istri putranya. Dia berdiri dan menarik lengan putranya menuju pendopo kerajaan.

“Kau bertemu dimana perempuan secantik itu?” tanya Tanatoa sedikit berbisik kepada putranya.

“Di hutan bambu dekat desa Jannang Panaikang ayah” dengan bangga Karaeng Parurang menceritakan kisah pertemuannya.

Banrimanurung pun resmi tinggal di kerajaan Tanatoa, namun kecantikan Banrimanurung membuat Tanatoa gelisah hampir setiap malam. Bayang-bayang Banrimanurung selalu saja hadir dihadapannya setiap saat. Sempat-sempat dia mencuri waktu untuk mendatangi menantunya itu untuk berbincang lebih lama. Hingga pada suatu hari, Tanatoa menemui putranya untuk menikahi Banrimanurung, menantunya sendiri.

“Putraku, saya ingin jujur kepadamu” ucap Tanatoa di ruang peristirahatannya kepada putranya.

“ada apa ayah?” balas Karaeng Parurang tanpa curiga sedikitpun.

“aku tertarik pada istrimu dan hendak menikahinya” Tanatoa berdiri dari pembaringannya. Mendengar keinginan ayahnya, Karaeng Parurang terkejut.

“ayah, dia milikku, istriku, dan siapa pun yang berani menyentuhnya maka nyawalah taruhannya” tegas Karaeng Parurang kepada ayahnya.

“putraku, jika kau juka bersikeras mempertahankannya maka nyawaku juga menjadi taruhannya” bau emosi keduanya mulai kepermukaan.

“baiklah ayah, jika itu keinginanmu maka aku terima tantanganmu” tantang sang anak. Tak lama mereka saling bersitegang, Karaeng Parurang keluar dari tempat peristirahatan ayahnya. Bahkan mengajak istri dan lelaki rentah kembali ke hutan bambu. Disana Karaeng Parurang mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan ayahnya yang suatu saat akan datang secara tiba-tiba.

Tanpa dibekali seorang prajurit pun, Karaeng Parurang mewanti-wanti kedatangan pasukan ayahnya. Gelisah menyelimutinya hingga tidur pun tak sempat dia nikmati. Ketakutan jika pasukan ayahnya datang dan menculik istrinya sementara dia didalam keadaan tertidur atau tidak ada disamping istrinya.

Melihat kecemasan suaminya, Banrimanurung menenangkannya “tidak perlu takut, jika perlu saya ikut berperang menghadapi mereka. Jikalau pun kita mati bersama, itu akan lebih baik dari pada salah satu diantara kita harus mati”. Karaeng Parurang terkesimah dengan ungkapan kesetiaan istrinya. Dikecupnya kening istrinya dan mengantarnya kedalam malam yang penuh bahagia.

Pada saatnya tiba, ketika ratusan prajurit ayahnya muncul dari rimbunan pohon bambu, tampak tak ada kecemasan sedikitpun dari wajah Karaeng Parurang disamping istrinya. Istrinya membisik sambil menarik lengan Karaeng Parurang “ikuti aku”. Mereka berlari diantara rimbunan pohon bambu menuju tempat dimana Banrimanurung ditemukan oleh si lelaki rentah. Ayahnya dan ratusan prajuritnya mengejar dan berhenti ketika Banrimanurung berhenti. “di sini” Banrimanurung terengah-engah membisik suaminya

“hahahah..., aku tidak pernah membesarkan seorang putra sepengecut kau” kecus Tanatoa dengan nafasnya yang turun naik.

“aku siap ayah” tantang Karaeng Parurang kepada ayahnya. Mendengar tantangan anaknya, dengan geram ayahnya memerintahkan kepada seluruh prajuritnya untuk membunuh putranya sendiri dan membawa Banrimanurung. Namun belum lagi perintah itu terdengar baik di telinga para prajuritnya, ribuan pohon bambu tiba-tiba tercabut dari akarnya dan menyerang para prajurit itu. Tanatoa pun tak luput dari serangan bambu-bambu itu hingga tewas. Kejadian itu membuat Karaeng Parurang hanya bisa menganga dan tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya hingga nampak di hadapannya ratusan mayat prajurit tak bernyawa lagi, begitu pula dengan ayahnya.

“ada apa dengan bambu-bambu itu?” tanya Karaeng Parurang kepada istrinya sementara dia masih dalam keadaan tidak percaya melihat kejadian yang luar biasa itu. Prediksinya bahwa takdir hidupnya akan berakhir di tempat itu. Namun kejadian luar biasa itu membuatnya masih bisa menghirup udara disamping istrinya.

“aku yang memerintahkannya” Banrimanurung menatap bahagia suaminya. “aku memiliki kekuatan gaib untuk memerintahkan bambu-bambu itu” lanjutnya sementara suaminya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Kemudian, mereka meninggalkan tempat itu dan membiarkan mayat Tanatoa membusuk bersama para prajuritnya. Mereka pun melanjutkan kehidupan keluarga yang sempat dihantui kerakusan sang ayah. Mereka kembali kekerajaan dan membangun dinasti kerajaan baru bernama Kerajaan Bangkala. Setelah bertahun-tahun mereka menikah, mereka di karuniai dua orang anak bernama I Batara langit dan Liampiyabang. Namun tidak lama mereka menikmati hari-hari bersama keluarga yang penuh kebahagiaan itu, Banrimanurung hilang tanpa jejak sedikitpun. Menghilangnya sangat misterius karena hampir seluruh penjuru, bahkan kehutan bambu pun tidak ditemukan. Dengan kesedihan teramat dalam, Karaeng Parurang menyadari kehadiran Banrimanurung didalam kehidupan ini terutama didalam kehidupannya adalah hadiah dari Dewa Sang Penguasa Alam.

Jeneponto, 12 Juni 2010

1 comment: