catatan-catatan singkat ini hanyalah hiburan belaka....hanya untuk mengisi kekosongan....hanya untuk membuktikan bahwa kita masih normal untuk memaknai kehidupan

Thursday

Pak Tani dan Bu'Tani


Pak Tani : Alhamdulillah, bajiki assele'na inne
taunga ammana
Bu'Tani : Mudah-mudahan kamma inji inne
taung labattua mae
Pak Tani : Punna lammoroji pupuka, pasti
lakamma inji inne kutae, ka
kulangngeriki la naimi seng pupuka
Bu'Tani : kukana pammarentah najanjiki lana
palammoroki pupuka wattunna
akkampanye?
Pak Tani : Nuassemmi antu pammarentata,
punna nia erokna, porei a'janji, tapi
punna nagappamo anjo nakerokia,
nakuluppaimi janjinna
Bu'Tani : Lani apa pale, punna kamma injo pammarentata, ia mami anne assele sike'deka
lampasikolai i baso nakkulle anjari apmmarenta todo
Pak Tani : (tertawa) Latikkamma carana i baso lassikola tinggi punna biaya lanjari pammarenta
ka'jala. Punna berasa ji lani pattoang, tena nangganna.

Petani-petani kecil ini terkurung di dunianya tanpa daya. Mereka menjalani rutinitas tanpa kemungkinan untuk meraih kesejahteraan. Hidup mereka dikuasai para pedangang. Para pedagang lah yang mendapat keuntungan atas jerih payah mereka. Saya amati, begitu jauhnya selisih harga antara di petani dan di pasar.

Tak adanya kemampuan menawar pada petani dan berkuasanya para tengkulak mestinya jadi perhatian pemerintah. Pemerintah pada level apapun mestinya memikirkan solusi terbaik untuk kasus ini. Tapi sepertinya pemerintah terlalu sibuk dengan masalah kekuasaan.

Menangnya para pedagang atas petani bisa dilihat pula dari banyaknya petani yang menjual tanahnya untuk modal dagang. Tak sedikit pula yang menjual tanahnya untuk modal jadi TKI. Sekarang kalaupun masih marak dunia pertanian, saya menduga ini cuma visualisasi semata. Yang berlangsung sesungguhnya adalah perdagangan, bukan saja perdagangan hasil tani dan tanah pertanian tapi perdagangan harkat dan martabat petani. Petani sedang menyongsong era baru perbudakan di negri ini.

(Jeneponto, 26 Mei 2010)

No comments:

Post a Comment